Hari ini, 22 Januari satu dasawarsa yang lalu, peristiwa nahas terjadi di jalan raya kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. Kecelakaan maut yang disebabkan kelalaian pengemudi mobil Xenia itu menewaskan sembilan orang pejalan kaki; delapan orang meninggal di TKP, sedangkan satu orang meninggal di rumah sakit.
Koalisi Pejalan Kaki kemudian menetapkan 22 Januari sebagai Hari Pejalan Kaki Nasional. Tidak hanya untuk mengenang tragedi tersebut, penetapan Hari Pejalan Kaki Nasional juga bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan pejalan kaki.
Mengutip laman tirto.id (22/1/2021) yang melansir Global Health Report on Road Safety 2018 yang dikeluarkan WHO, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada 2016 mencapai 31.282 orang. Dari jumlah tersebut, pejalan kaki menempati urutan kedua korban terbanyak yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, setelah sepeda motor yang berada di urutan pertama yang mencapai 74 persen.
Berjalan kaki memang menjadi hak semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Segala daya upaya dilakukan oleh pemangku kepentingan demi memastikan fasilitas umum seperti jalan raya dapat diakses dengan mudah oleh warga disabilitas. Pembangunan jalur pejalan kaki seperti trotoar dan tempat penyeberangan dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan pejalan kaki.
Namun, harus diakui bahwa belum semua fasilitas itu benar-benar akses bagi penyandang disabilitas. Misalnya, tombol lampu penyeberangan yang posisinya terlampau tinggi sehingga sulit diakses pengguna kursi roda secara mandiri dan informasi yang ditulis dengan bahasa yang rumit dan tidak efektif sehingga sulit dipahami para penyandang disabilitas intelektual. Selain itu, ada pertaruhan nyawa bagi disabilitas netra ketika trotoar dirampas sebagai lahan parkir atau tempat berjualan.
Mengapa dikatakan pertaruhan nyawa? Sebab, ketika disabilitas netra berjalan di jalur yang telah ditentukan tetapi ternyata tempat itu telah dipakai oleh para pengendara dan pedagang, maka tentu tidak ada pilihan lain kecuali menghindar dan keluar dari jalur tersebut, dan akhirnya menyimpang ke badan jalan sehingga riskan tertabrak kendaraan lain.
Sebuah video yang diunggah oleh seorang naravlog YouTube (YouTuber) tunanetra bernama Jack pada kanal pribadinya yakni Blindman Jack (11 Januari 2022), diperlihatkan contoh pertaruhan nyawa lainnya oleh pejalan kaki tunanetra.
Dalam video tersebut, Jack berusaha menyentil kesadaran para pengendara agar lebih bertoleransi terhadap pejalan kaki dari kalangan disabilitas, khususnya disabilitas netra. Ditunjukkan bahwa meski telah menyeberang di jalur penyeberangan dan mengangkat tongkat sebagai penanda agar para pengendara dapat memberi jalan, ternyata para pengendara tersebut tidak peduli.
Demikian pula dengan tombol pada lampu penyeberangan yang tidak memberi petunjuk apa pun ketika ditekan, dimana seharusnya lampu tersebut dapat memberi tanda apabila berfungsi sebagaimana mestinya. Ini tentu miris, mengkhawatirkan.
Di akhir video, Jack berpesan kepada para pengendara agar lebih menggunakan nalar wajar mereka. "Gue berpesan kepada para pengendara, gunakan common sense lo. Kalau ada tunanetra yang sudah mengangkat tongkat dan dia mau nyeberang, lo kenapa, sih, nggak mau berhenti sejenak? Lo kehilangan berapa miliar, sih, sampai nggak mau berhenti, even ten seconds (bahkan sepuluh detik) atau lima detik aja lo berhenti supaya gue bisa jalan."
Apa yang dialami Jack adalah potret kendala yang dialami oleh banyak pejalan kaki disabilitas netra di tanah air. Tentu ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah dan seluruh pihak terkait perlu terus berupaya membangun aksesibilitas publik demi memberi kenyamanan dan keamanan bagi pejalan kaki dari semua kalangan.
Selain itu, masyarakat umum perlu terus meningkatkan kesadarannya akan pentingnya keselamatan di jalan raya. Para pengendara perlu lebih peduli dan tolerir karena pejalan kaki dari kalangan disabilitas pun punya hak yang sama ketika menggunakan fasilitas publik.
Selamat Hari Pejalan Kaki Nasional 2022!